Untuk memahami tema ini sebagaimana
mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al Qur'an terdapat
ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :
] هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ [
(ءال عمران : 7)
Maknanya : "Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan
pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta
orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan
tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"
(Q.S. Al Imran : 7)
I. Definisi Ayat Muhkamat dan
Mutasyabihat
Al
Muhkam: المتضح
المعنى ; yang jelas maknanya.
al
Mutasyabih: ما
ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]
Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat
yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk
ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan
maksudnya. Seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi,
dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
﴿
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴾ (سورة الإخلاص :4)
Maknanya: “Dia (Allah)
tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)
﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا ﴾ (سورة مريم :65)
Maknanya: “Allah tidak ada
serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)
Ayat-ayat
Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki
banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar
diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti
firman Allah :
﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ (سورة طه :5)
Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat
muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin
diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh
kita) yang dimaksud dalam ayat
﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ (سورة ءال عمران : 7)
Menurut bacaan waqaf pada lafazh
al Jalalah الله adalah
seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan
mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha :
5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda
:
" اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" (حديث ضعيف ضعفا خفيفا)
Maknanya: “Amalkanlah
ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah terhadap
yangmutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari
adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan
maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla'ifdengan
kedla'ifan yang ringan.
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat
yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah
[ وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan "orang
yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya"
karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui
sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang
beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk
orang-orang yang mendalam ilmunya".
II. Metode Memaknai Ayat
Mutasyabihat
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama
benar :
Pertama
: Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad
hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya
serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu
yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi
keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka
mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat
seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi,
dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh
imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "
"Aku beriman dengan
segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan
segala yang berasal dari Rasulullah r sesuai
dengan maksud Rasulullah", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan
oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat benda (makhluk)
yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil
tafshili) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti
bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
"Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (Q.S. al Qashash : 88) yakni
kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya".
Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) ,
tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih
al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang
terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah
al Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf
mentakwil firman Allah : [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci),
ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda
kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh
al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al
'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang
menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar
al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad.
Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni
terdapat dalam bukunyaal Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i
sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru
kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa
imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al
Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar
madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash
(teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang
secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi
adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi
sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir
dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua
: Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara
terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata
tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan
diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan
orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ (سورة ص : 75)
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa
yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian
khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
III. Pemahaman Golongan
Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat
Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf
yang memakai metode takwil ijmali atau tafshilidalam
memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat
Mutasyabihat. Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk
al Qur'an adalah ayat-ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an:
" هُنَّ
أُمُّ الْكِتَابِ " - sehingga ayat-ayat Muhkamat
yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat
dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya;
yaitu ayat-ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat
Mutasyabihat untuk diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari
ajaran Islam. Buku-buku aqidah mereka selalu mengedepankan mengajarkan
ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan paham tasybih pada
pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang menyimpang
seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi
wasallam bersabda :
" إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " (رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه)
Maknanya: “Jika kalian
menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al Qur'an, maka
mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7, waspadai
dan jauhi mereka". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
at-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al
Qur'an atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan
Terjemahannya cetakan Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya). Berikut contoh-contoh dari pemahaman tasybih mereka:
Ayat
Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat
yang sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya".
Perkataan ini jelas paham tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah
memiliki anggota badan yaitu kaki dan telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi
telah menukil ijma' para ulama salaf yang menegaskan:
"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات".
"Maha suci Allah dari
batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama
sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah,
tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak
lidah, hidung, telinga dan lainnya).
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
"
ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر".
"Barangsiapa menyifati Allah
dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia
adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki anggota badan,
baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan tersebut
jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.
Pada
halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":
dengan bersemayam, padahal bersemayam
maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal, tersimpan, terpatri (di hati),
membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah karena semuanya
adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak seperti
bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al
Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan
memahami dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham
tasybih tersebut.
Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang
sifat Allah tertentu: بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad
Shalih ibnu Utsaimin ketika menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:
"ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين".
"Dan kami beriman bahwa
Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".
Padahal sifat 'Ayn tidak
pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau
dengan tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak
ubahnya adalah dua mata yang hakiki. Dan jelas 'Ayn yang
hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan Utsaimin ini
terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam edisi bahasa Indonesia
juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun, M.A. di
halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini,
h. 34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada
h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah adalah dua…".
Padahal Ahlussunnah mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah,
yang pasti bukan kelopak mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi
dalam kitab al Asmaa' wa ash-Shifaat[3] menyebutkan bab-bab
berikut:
- (باب ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة ) Bab tentang penetapan Wajh bagi
Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.
- (باب ما جاء في إثبات العين صفة لا من حيث الحدقة) Bab tentang penetapan 'Ayn bagi
Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.
- (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين لا من حيث الجارحة) Bab tentang penetapan Yadayn bagi
Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.
Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah,
Ahlussunnah dan golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda
dalam memahaminya. Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak
menyerupai sifat makhluk-Nya. Wajh bukan muka atau bagian
tubuh, 'Aynbukan mata, kelopak mata dan semacamnya, dan Yadayn bukan
kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang wahhabi
memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki,
yaitu mata, Yadayn secara hakiki yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah
sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka tidak bisa
diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayn dan Yadayn dalam
bahasa Arab memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu
maknanya akan terjadi distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika
diterjemahkan sebagai wajah atau muka, mata dan tangan berarti telah meyakini
keyakinan tasybih; bahwa Allah memiliki anggota badan.
Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan
bermakna muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi
diterjemahkan maknanya dengan mentakwil Wajh sebagai al
Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al
'Inayah (perhatian khusus), ataual Qudrah (kekuasaan)
atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.
IV. Syubhah dan Jawabannya
Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab
yang mereka ikuti adalah metode para ulama salaf ash-Shalih.
Jawaban: Jelas
berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena sangat
berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat
atau hadits sifat) dan Nafyu al kayf 'anillah (menafikan
sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf bukan Itsbatul kayf
Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi
dzalikal kayf (tanpa mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah
'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi ketika memaknai ayat
Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti
duduk, bersemayam, berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya
dinafikan dari Allah. Tetapi golongan Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra;
bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa mengetahui bagaimana bersemayam-nya
Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam. Jauh
berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda
antara Itsbatul kayf Lillah dengantanzihullah 'anil Kayf. Al
Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf Majhul.
Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama:
riwayat yang berbunyi:
" الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".
"Allah memiliki sifat istiwa'
seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan
Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh
al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang Jayyid (kuat). Kedua:
riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
" الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".
"Istiwa sudah diketahui bahwa
Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat ini
dituturkan oleh al-Laalka-i)
Riwayat Wal Kayf Majhul tidak
sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4] Demikian juga
maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi
Allah, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab
para ulama salaf yang jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah
dengan mengatakan: بلا
كيف ; tanpa berlaku kayf bagi
Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al
Awza'i, Malik, Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang
hadits-hadits mutasyabihat, mereka mengatakan:
"أمروها كما جاءت بلا كيفية".
"Baca saja hadits-hadits
tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai sifat-sifat
makhluk". [5]
Wallahu a'lam wa
ahkam.
[1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat
ad-Daqiiqah (Beirut: Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.
[2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl
at-Ta'thil (Kairo: Darussalam, 1410 H-1990), h. 107
[3] Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo:
Darul Hadits, 1423 H-2002 ) h.319-340.
[4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al
Mustaqim (Beirut: tp, 1397 H), h. 36
[5] Ibid., h. 56