Sabtu, 19 Januari 2013

BANJIR


Hikmah Banjir Jakarta



Jakarta
 - Jakarta dikepung air. Suasana kota bak kapal pecah. Aktifitas mandeg. Dimana-mana terjadi evakuasi, di mana-mana terlihat pengungsi. Yang mengharukan, warga kota guyub. Saling memberi informasi dan bantuan. Ini musibah yang penuh hikmah.

Hujan deras terus mengguyur Jakarta. Beberapa tanggul jebol mengubah kota ini menjadi kubangan. Gedung-gedung pencakar langit beku. Kota teramat dinamis ini –kalau tidak boleh disebut terlalu padat- sejenak lengang. Jalanan yang biasa macet dan padat merayap itu kini diistirahatkan air.

Banjir Jakarta ditaksir belum surut dalam tempo dekat. Intensitas hujan tinggi, ‘air kiriman’ dari Bogor dan air laut meluap faktornya. Jika ini disebut musibah, maka musibah ini masih harus lama terjalani. Untuk sementara, banjir ini telah merenggut 15 nyawa.

Sabar dan tawakal yang bisa dilakukan warga Jakarta. Sebagai kota yang secara geografis rendah, sikap itu mutlak, sebelum pemerintah membangun irigasi canggih untuk membentengi kota ini. Menyulap kali sebagai berkah, meniru langkah Kerajaan Banten di era Sultan Ageng Tirtayasa di abad-abad silam (1631 – 1683), yang mengubah sungai-sungainya sebagai nadi pertahanan dan perdagangan.

Saya terharu melihat banjir kali ini. Warga dan aparat saling bahu-membahu mengatasi. Yang jadi korban tidak mengeluh. Warga yang lain semampunya memberi bantuan. Tidak hanya nasi bungkus, ubi, dan kopi yang disuguhkan, tetapi juga informasi yang disebarkan melalui SMS dan BB yang menggugah siapa saja untuk ikut peduli jika ada yang membutuhkan pertolongan.

Saya tabik dengan warga Jakarta. Sebagai kota yang tidak terbiasa disambangi banjir, ternyata warganya siap lahir batin menghadapi musibah ini. Ketabahan dan kesabarannya tak kalah dengan warga Lamongan (Jabung) dan Bojonegoro (area Ledok) yang saban tahun terendam banjir. Di dua kota itu, saat-saat ini juga banjir akibat luapan Bengawan Solo, bisa santai di atap-atap rumah. Tak ada keluh-kesah. Itu karena sudah terbiasa.

Ketenangan warga Jakarta menghadapi musibah ini memang bukan tanpa sebab. Salahsatu sebabnya karena sikap Gubernurnya, Jokowi. Mantan Walikota Solo yang merakyat itu menyatukan diri dengan warganya. Terjun langsung ke lapangan, memantau siang malam, berbagi tugas dengan Ahok, wakilnya, dan memberi bantuan bagi yang membutuhkan, tanpa diminta, dan dari koceknya sendiri. Ini yang membuat warga Jakarta tenang. Mereka merasa tidak sendirian di tengah bencana, tetapi ditemani pemimpinnya.

Namun dalam perspektif kota besar, Jakarta harusnya tidak terendam banjir. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah etalase Indonesia. Kewajiban bangsa ini untuk membuatnya aman dan nyaman. Indah bermartabat. Dan kerja keras serta all-out untuk menciptakan gengsi itu.

Apalagi kota ini sudah berpengalaman banjir dari tahun ke tahun, terutama siklus lima tahunan yang merawankan. Itu sangatlah berharga. Harusnya jadi pelajaran untuk melakukan tindakan nyata. Bertindak konkrit di tahun-tahun sebelumnya, bukan hanya berwacana.

Namun sejak banjir dramatis di tahun 2007 hingga kini banjir besar datang lagi, kota ini ternyata tetap saja. Belum beranjak siaga mencegah jika banjir itu tiba. Akibatnya Jakarta kembali terendam. Segala aktifitas mandeg, yang jika dihitung nilai kerugiannya, dampak banjir-banjir itu melebihi dana untuk membangun tanggul pencegahnya. Adakah Jokowi kelak akan mampu mewujutkannya?

Semoga saja, agar banjir ini tidak dimaknai sebagai kutukan, tetapi pembasuh. ‘Mencuci’ Jakarta dari anasir buruk supaya terhindar dari tahun politik (2013) yang berdarah-darah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar