Selasa, 05 Maret 2013

TAFSIR QS. AL-IMRON AYAT 7


Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :
  ] هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ [   (ءال عمران : 7)

Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang  yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat)  melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"    (Q.S. Al Imran : 7)
 I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
             Al Muhkamالمتضح المعنى ; yang jelas maknanya.
            al Mutasyabihما ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]
             Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
 ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ  (سورة الشورى۱۱)    
 Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)                                               
﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  (سورة الإخلاص :4)   
 Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)     
   ﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا  (سورة مريم :65)
 Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)                                 
      Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :
 ﴿ الرّحْمٰنُ  عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى    (سورة طه :5)
       Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam ayat
 ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ (سورة ءال عمران : 7) 
 Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih  yang seperti ayat tentang istiwa'Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
  " اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ(حديث ضعيف ضعفا خفيفا)  
 Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan  berimanlah terhadap  yangmutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla'ifdengan kedla'ifan yang ringan.
             Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah  [  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya".
 II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat
             Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :
             Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil  ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
  ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ  (سورة الشورى۱۱)                              
 Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)            
         Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
 " ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "
 "Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r  sesuai dengan maksud Rasulullah", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
             Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
 " سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
 "Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ  (Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam  Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik  yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al Khashshah).
             Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah :     [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni  terdapat dalam bukunyaal Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
             Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
             Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
             Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
 ﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ  (سورة ص : 75)
 Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
 III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat
             Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode takwil ijmali atau tafshilidalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat. Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: " هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ " - sehingga ayat-ayat Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan paham tasybih pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
  " إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم(رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه)  
 Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7waspadai dan jauhi mereka".  (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)
             Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Berikut contoh-contoh dari pemahaman tasybih mereka:
 Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya".  Perkataan ini jelas paham tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang menegaskan:
 "تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات".
 "Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).
 Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:  
  " ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر".
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
 Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.
 Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":
dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal, tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
             Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.
            Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat Allah tertentu:  بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:
             "ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين".
 "Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".
 Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang hakiki. Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun, M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h. 34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah adalah dua…".
             Padahal Ahlussunnah  mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-Shifaat[3] menyebutkan bab-bab berikut:
 - (باب ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة ) Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.
- (باب ما جاء في إثبات العين صفة لا من حيث الحدقة) Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.
- (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين لا من حيث الجارحة) Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.
             Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan golongan Musyabbihah  seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya. Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-Nya. Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Aynbukan mata, kelopak mata dan semacamnya, dan Yadayn bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang wahhabi memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadayn secara hakiki yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayn dan Yadayn dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinan tasybih; bahwa Allah memiliki anggota badan.  Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya dengan mentakwil Wajh sebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah (perhatian khusus), ataual Qudrah (kekuasaan) atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.
 IV. Syubhah dan Jawabannya
             Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode para ulama salaf ash-Shalih.
            Jawaban: Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena sangat berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat) dan Nafyu al kayf  'anillah (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf bukan Itsbatul kayf Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi dzalikal kayf (tanpa mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah 'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi ketika memaknai ayat Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti duduk, bersemayam, berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya  dinafikan dari Allah. Tetapi golongan Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam. Jauh berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda antara Itsbatul kayf Lillah dengantanzihullah 'anil Kayf. Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf Majhul. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang berbunyi:
 " الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".
"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".
 Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang Jayyid (kuat). Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
 " الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".
"Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat ini dituturkan oleh al-Laalka-i)
 Riwayat Wal Kayf Majhul tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4] Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi Allah, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah dengan mengatakan: بلا كيف ; tanpa berlaku kayf bagi Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik, Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka mengatakan:
           "أمروها كما جاءت بلا كيفية".
"Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai sifat-sifat makhluk". [5]
Wallahu a'lam wa ahkam.
  
                [1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah (Beirut: Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.

                [2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil (Kairo: Darussalam, 1410 H-1990), h. 107

                [3]  Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 ) h.319-340.

                [4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim (Beirut: tp, 1397 H), h. 36

                [5] Ibid., h. 56